Senin, 12 April 2010

Soekarno (26)

Mengawali tulisan ini aku teringat akan kebodohan yang aku alami semasa dibangku SMA. Disaat remaja SMA banyak mengidolakan para artis dalam negeri ataupun artis dari negeri sono yang jauh, aku justru mengidolakan Soekarno. Tapi rasa kagum itu berawal dari cara Bung karno berpakian. Gagah dan penuh wibawa. Tentang pandangan serta pola kepemimpinannya aku masih buta. Bahkan buku “Di Bawah Bendera Revolusi” peninggalan almarhum ayahku hanya aku jadikan sebuah pajangan (Sok koleksi buku tebal).

Dalam kondisi pengetahuan yang demikian aku mengira bahwa Marhaenisme merupakan faham yang dipelopori oleh seorang “Ahli Pemikir” dari luar negeri yang bernama: Marhaen yang tentu saja berasal dari negeri barat. Sama halnya dengan Karl Marx yang menciptakan Marxisme. Eh gak taunya wong Bandung Selatan.

Marhaenisme adalah ajaran Bung Karno yang diperoleh dengan tidak ada niatan khusus dan menggebu untuk membuat suatu analisa terhadap apa, dan siapa rakyat Indonesia saat itu pada umumnya. Tuhan benar-benar menjadi pengendali terbentuknya faham Marhaenisme ini.

Mungkin tidak akan terjadi perisitiwa pagi hari itu, kalau saja ia tidak memendam kecewa terhadap praktik pendidikan tinggi yang ditempuhnya. Kecewa terhadap mata kuliah teknik sipil yang dicekokkan dosen-dosen Belanda kepadanya. Hari itu, ia putuskan bolos kuliah. Anda mungkin bertanya, kekecewaan seperti apa yang dia rasakan selama kuliah di THS? Kita bahas dalam kesempatan yang lain.

Sekarang… kembali ke… Mar….haen. Pagi hari di saat pikiran suntuk, Sukarno muda mengayun langkah, mengambil sepeda onthel, dan mendayungnya tanpa tujuan. Kebetulan saja arah laju sepeda menuju Bandung Selatan, suatu daerah pertanian yang padat. Itu terjadi tahun 1920-an.

Suasana Bandung Selatan ketika itu, adalah suasana daerah pertanian. Petani mengerjakan sawahnya yang kecil, yang masing-masing luasnya kurang dari sepertiga hektare. Tak dinyana, pandangan Sukarno tertumbuk pada sosok petani muda yang tengah giat mencangkul. Dia seorang diri. Bung Karno pun tertarik menghampiri.

Di pinggir galangan sawah, Bung Karno berdiri termenung, menatap petani muda yang terus dan terus mengayunkan cangkul ke atas-ke bawah. Sejurus kemudian, Sukarno mendekat. Lebih dekat ke arah petani tadi. Demi mengetahui seseorang menghampiri, petani tadi menghentikan aktivitas mencangkul, dan melempar pandang ke arah Sukarno. Terjadilah tegur-sapa, sebuah tegur-sapa ramah khas Indonesia. Tidak ada ekspresi curiga, melainkan seringai sungging senyum pada kedua orang itu.

Saha nu kagungan ieu sadayana nu dipidamel ayeuna ku aranjeun,” tanya Bung Karno dalam bahasa Sunda yang fasih. Artinya kurang lebih, “Siapa yang punya semua yang engkau kerjakan sekarang ini?”

“Saya, juragan,” jawab petani itu.

Bung Karno bertanya lagi, “Apakah engkau memiliki tanah inibersama-sama dengan orang lain?”

“O, tidak gan. Saya sendiri yang punya.”

“Tanah ini kaubeli?”

“Tidak. Warisan bapak kepada anak turun-temurun.”

Sejenak Bung Karno terdiam. Demi melihat “tamu sawah” itu diam, si petani pun kembali mencangkul. Menggali dan menggali. Sedangkan Sukarno pun melakukan penggalian mental. Menggali teori. Mencangkul filosofi di otaknya, hingga mengalirkan pertanyaan-pertanyaan lain yang bertubi: “Bagaimana dengan sekopmu? Sekop ini kecil, tapi apakah kepunyaanmu juga?”

Petani muda kembali menghentikan kegiatan, dan menjawab, “Ya, gan.”

“Dan cangkulnya?”

“Ya, gan.”

“Bajak?”

“Saya punya, gan.”

“Untuk siapa hasil yang kau kerjakan.”

“Untuk saya, gan.”

“Apakah cukup untuk kebutuhanmu?”

Petani mengangkat bahu mengernyitkan dahi… “Bagaimana sawah yang begini kecil bisa cukup untuk seorang istri dan empat orang anak?”

“Apakah ada yang dijual dari hasilmu.”

“Hasilnya sekadar cukup untuk makan kami. Tidak ada lebihnya untuk dijual.”

“Kau mempekerjakan orang lain?”

“Tidak, juragan. Saya tidak dapat membayarnya.”

“Apakah engkau pernah memburuh?”

“Tidak, gan. Saya harus membanting tulang, akan tetapi jerih-payah saya semua untuk saya.”

Kemudian Bung Karno menunjuk sebuah gubuk kecil seraya bertanya, “Siapa yang punya rumah itu?”

“Itu gubuk saya, gan. Hanya gubuk kecil saja, tapi kepunyaan saya sendiri.”

“Jadi kalau begitu,” kata Bung Karno menyaring pikiran-pikiranya sendiri, “Semua ini engkau punya?”

“Ya, gan.”

Setelah itu, Bung Karno menanyakan nama petani muda itu. Dan petani itu menjawab, “Marhaen”. Nama Marhaen adalah nama biasa. Sama biasanya dengan nama Jones atau Smith di Amerika. Akan tetapi, dari dialog dengan Marhaen yang rakyat jelata itu pula Bung Karno mendapat ilham untuk rakyatnya. “Aku akan memakai nama itu untuk menamai semua orang Indonesia bernasib malang seperti itu!” Pikir Bung Karno.

Dan sejak itu, Bung Karno menamakan rakyatnya sebagai rakyat Marhaen.

Semoga tulisan ini akan mengakhiri kebodohonan atau ketidak mengertian tentang siapa Marhaen dan apa Marhaenisme seperti yang saya alami saat di bangku SMA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar